I Those who are heartless, once loved too much. - Unknown
“Gak semua permasalahan bisa kamu selesaikan pake logika, Lex. Kamu kira, kamu dikasih perasaan tuh buat apa?”
Entah yang ke berapa kalinya dia bentak aku dengan pernyataan seperti itu. Makanya kali ini aku diam saja. Aku pikir, dia juga akan bosan denger jawaban aku – seperti aku bosan denger teguran dia itu – bahwa aku tidak bisa kontrol perasaan aku, jika saja bisa, pastilah sudah aku suruh perasaan aku itu untuk memberikan seluruh simpatinya padanya, pria paling sabar di hadapanku ini, yang menyebut dirinya pacarku.
Motor yang dikendarainya melambat. Mungkin karena sedari tadi dia tidak mendengar aku mengatakan sesuatu.
“Alex, kamu pernah sayang ama cowok?” Aku terdiam sejenak. Nada bicaranya sudah lebih lembut dibanding sebelumnya. Dia terdengar luka.
“Kenapa tanya kaya gitu?” Motornya masih melaju pelan.
“Kalau liat kamu saat ini sih, aku gak yakin jika kamu pernah atau bisa sayang ama cowok, Lex. Kamu gak tau gimana mestinya mencintai seseorang.”
Aku diam sejenak. Pikiranku melayang-layang mendengar pertanyaannya yang kuterjemahkan tidak sesederhana nada melecehkan darinya. Dia menunggu tanggapanku. Beberapa kendaraan melaju mendahului kami. “Aku bisa baik sama kamu. Aku selalu berusaha untuk buat kamu senang.”
Duduknya yang semula tegak langsung mengendur kecewa. Dia bilang aku memang baik. Aku selalu berlaku baik padanya, pada teman-temanku, tapi dia tidak pernah merasakan cinta dariku, dia tidak pernah merasa spesial. Kemudian motornya melaju kencang kembali setelah beberapa lama aku terdiam dan tidak menanggapainya. Aku memilih untuk tidak mengatakan apa yang ia ingin dengar. Aku tidak bisa.
***
Tanggal 7 ini tidak menyenangkan. Kami bertengkar gara-gara hal sepele menurutku. Gara-gara aku bilang kalau tanggal 7 nanti tidak usah ada perayaan khusus seperti ini. Satu tahun sekali saja cukup. Terus juga aku bilang dia alay kaya anak smp. Kemudian dia marah. Setelah aku mengalah untuk meralat pernyataan aku kalau perayaan tiap bulan itu tidak perlupun dia masih saja marah. Aku ngerti kemudian kenapa dia sampai marah seperti itu setelah dia jelaskan bahwa bukan perayaannya lagi yang jadi masalah, tapi cara aku menyikapinya. Dia bilang, harusnya aku senang kalau aku sayang dia.
Tadi setelah dia mengantarku hingga depan pintu gerbang kostku, dia langsung pergi tanpa mengatakan apa-apa lagi. Hanya mengacak rambutku saja mungkin, lalu menghilang. Sekarang seharusnya dia sudah sms seperti biasanya mengabari kalau dia sudah tiba di rumahnya. Tapi sms darinya tak kunjung kudapat juga, dan aku memakluminya.
Jam 10 malam itu tanggung sekali. Waktu dimana aku belum mengantuk tapi sudah terlalu lelah untuk melakukan sesuatu. Aku ambil ipodku, ku pasangkan pengeras suara, dan lagu kesukaankupun –stay- mengalun lembut mengantarku pada lamunku.
Aku tau gimana rasanya jatuh cinta. Aku pernah jatuh cinta. Sekali. Dan rasanya sebagaimana alaminya, jatuh itu selalu melukaiku.
***
Andra, gadis manis lugu kelas 5 SD, menangis memegang erat tangan mamah, khawatir dia akan meninggalkannya.
“Andra gak suka ketemu orang-orang baru, mamah. Andra phobia.” Jelasnya menggunakan kata yang baru dia pahami malam sebelumnya lewat film.
“Tapi mamah harus bekerja, sayang.”
Pegangan tangan Andra semakin erat. “Aku mohon, hari ini saja mamah ikut masuk kelas sampai beres nemenin aku.” Dia menyeka air matanya yang terus-terusan jatuh.
Dari kejauhan, terlihat bocah laki-laki menghampiri Andra. Raut wajahnya, cara dia berjalan, tatapan matanya, cara dia berpakaian seragamnya, semuanya membuat Andra takut. Sepertinya dia jahat, sehingga secara refleks dia mundur ke belakang mamah.
“Ini yah murid baru itu? Ayo, kelas udah mulai!” Kata si bocah ketus sekali sambil mengambil tangan Andra kemudian menariknya, namun dia berpegangan erat pada mamah.
“Dia malu.” Mamah menjelaskan.
“Kamu gak usah takut. Semua anak di kelas tunduk sama aku. Aku berjanji gak ada yang berani nyakitin kamu.” Tatapan si bocah berubah lembut.
Pegangan tangan Andra pada mamah perlahan mengendur. Dia melangkah pelan mengikuti tarikan tangan bocah itu. Dia melambai lesu pada mamah, tapi hatinya sudah jauh lebih tenang.
Usai memperkenalkan diri di kelas, bocah tadi berdiri dan membuat semacam pengumuman pada teman-temannya. Dia dengan lantang dan dingin bilang “Kalian jangan gangguin dia yah. Kasian. Dia pemalu.” Ibu guru tidak memberi komentar apa-apa, hanya tertawa kecil. Bocah itu yang kemudian diketahui bahwa dia ketua kelas menepati janjinya. Andra bisa belajar dengan tenang hingga kelas usai. Hingga SDnya usai.
***
Oh iya, soal kenapa bocah sampai ditunjuk sebagai ketua kelas, kata teman-teman, karena dia nakal. Guru percaya, dengan memberikan dia sedikit kepercayaan dan tanggung jawab, akan membuatnya berlaku lebih baik.
Andra pikir dia tetap nakal di kelas. Tapi gak bisa dibilang kalau dia tidak berubah. Andra tidak tau dia senakal apa sebelum dia dijadikan ketua kelas. Ah, tapi kalau dipikir-pikir, dia memang gak terlalu tau si bocah itu seperti apa. Dia gak terlalu tau teman-teman sekelasnya seperti apa. Dia jarang sekali berinteraksi dengan mereka.
Hingga saat itu, yang dia tau tentang bocah itu hanya informasi-informasi umum saja seperti setiap jam istirahat adik perempuannya selalu mengantarkan bekal makanan padanya, dia suka menggerutu, tapi dia lihat dia sayang sekali pada adiknya, atau dia pernah jatuh di lapangan dan matahin tangannya,
Andra sangat khawatir saat itu, tapi dia tidak bisa berbuat banyak juga dan bereaksi seadanya berlaga santai, atau menurut gosip yang beredar di kelas, si bocah punya 4 mamah, Andra bingung sesaat saat mendengar berita tersebut terus tidak peduli, itu bukan urusannya, dia pikir. Ada beberapa hal juga yang bocah itu lakukan sehingga Andra bisa punya pemikiran bahwa dia itu nakal.
Tapi dia lupa dan tidak mempermasalahkan hal itu. Atau memang dia hanya memilih untuk ingat part dimana si bocah menepati janjinya untuk membuat teman-temannya tidak berani mengganggu Andra, dimana dia memberikan permen terakhirnya pada Andra saat dia terlihat kecewa tidak kebagian permen saat pembagian, ketika dia pura-pura kelelahan berlari saat pelajaran olahraga karena tidak mau meninggalkan Andra sendiri di belakang yang kerepotan menjaga agar asmanya tidak kambuh saat berlari. Dan semua itu cukup membuat dia percaya pada si bocah.
Dia jatuh cinta. Cinta sederhana yang membuat dia bersemangat hanya dengan melihatnya tiba di kelas di pagi hari, cinta sederhana yang buat dia ikut tersenyum dalam hati melihat senyumnya. Hingga baru dia tau beberapa tahun kemudian, si bocah bisa menjadi orang yang paling melukainya, membunuh cintanya yang tak lagi sederhana padanya, Gio Ghaisan Erlangga.
***
Alarmku berbunyi. Tiap pagi memang selalu berbunyi pukul 5. Semalam aku ketiduran rupanya. Lagu Stay masih mengalun lembut. Aku set mode ulang seminggu terakhir ini. Aku memang begitu. Jika sedang senang terhadap satu lagu, akan kuputar berulang sampai bosan.
Aku mengambil hp-ku, kemudian kumatikan alarmnya. Tidak ada pesan. Hpku memang selalu sepi. Tapi biasanya setidaknya ada pesan dari pacarku, terlebih dia belum kasih kabar juga dari semalam, aku biarkan saja dulu. Karena hari ini aku kuliah pagi, jam 7, aku bergegas mandi. Baru sebelum berangkat ke kampus, aku kirim sms, “Reza, kamu baik-baik aja kan?” lalu aku bergegas pergi.
Hari Senin aku hanya punya jadwal satu mata kuliah saja. Semester 7 memang tidak sesibuk semester sebelumnya. Sisa sks yang harus ku ambil tinggal sedikit.
“Drrtttttt”, hpku bergetar di saku celanaku di sela-sela perkuliahan. Aku pelan-pelan membukanya, dengan hati-hati, karena walaupun aku duduk di bangku paling belakang, aku tetap harus waspada.
“Lex, I’m so sorry. Aku egois dan kekanakan banget semalam. Forgive me! Nanti aku jemput usai kamu kuliah. Seperti biasa, aku tunggu di lobby kampus kamu.” Aku tersenyum kecil. Dari pacarku rupanya.
Aku dan pacarku berbeda kampus, juga berbeda angkatan. Dia setahun lebih dulu dariku. Dia sekarang sedang menyusun skripsinya. Nah, jika tidak ada jadwal bimbingan, dia selalu menyempatkan untuk menjemputku dari kampus atau dari manapun juga untuk sekedar makan atau main bareng, kadang aku dia ajak menemaninya mengerjakan skripsinya atau bahkan aku kadang juga diajak ke kampusnya untuk menemani dia bimbingan skripsi.
Dan iya, itu berarti hampir setiap hari aku ketemu dia. Sedikit menyebalkan memang, tapi untuk kali ini, aku tersenyum. Aku tidak suka lama-lama punya masalah dengan orang yang dekat denganku.
Selesai kuliah, aku pamit pada teman-teman dekatku, segera menuju lobby untuk menemui Reza.
“Lex, titip salam yah buat Reza. Gue gemes liat dia. Ganteng banget.” Aku hanya tertawa kecil menanggapi candaan iseng dia dan teman-teman cewekku yang lainnya.
***
-Cinta itu jika sudah membodohkan-
Kemarin tanggal 7 September, 4 bulan lagi berarti kami genap tiga tahun resmi berpacaran. Banyak teman-temanku yang bilang kalau aku beruntung banget bisa punya pacar seperfect Reza. Iya, akupun tau kalau aku beruntung, aku sadar betul kalau pacarku ini gantengnya tidak biasa, baik, sabar, penyayang, pokoknya dia sosok ideal seorang pria idaman wanita, makanya aku bisa bertahan hingga hampir 3 tahun seperti ini bareng dia.
Jika aku bodoh, sudah sejak lama mungkin, sejak hubungan kami berumur sebulan dua bulan mungkin, aku tinggalkan dia. Sekarangpun bisa saja aku tinggalkan dia, tapi aku pikir, lebih baik aku bareng dia saja terus sampai aku muak dengan semua baik-buruknya dia yang tidak pernah bikin aku benar-benar senang. Dan lagipula setidaknya aku nyaman sama dia, walau kadang aku berpikir jika mungkin aku akan lebih nyaman sendirian. Selain itu, dia kan seru untuk aku pamer-pamerin dan bikin jealous temen-temen cewekku, juga aku tidak akan tega menyakiti orang yang selalu baik ama aku.
Reza yang sedang duduk di bangku lobby langsung melempar senyum padaku. Aku terpaku sejenak, jantungku berdegup agak kencang, lututku lemas, bukan karena senyum manis reza yang terasa hambar, tapi karena seseorang yang duduk disampingnya. Orang itu kuliah satu jurusan denganku. Orang yang yang sudah beberapa lama memberi efek ketidaknyamanan yang secara aneh ku sukai. Namanya yah?! Panggil saja dia si X.
Normalnya, aku pasti langsung kabur ketika menyadari kehadiran dia di sekitarku, auranya terlalu kuat. Namun sekarang sudah tidak mungkin lagi. Aku buru-buru mengatur diri. Segera ku balas senyu Reza dengan ceria. Ku hampiri Reza perlahan agar tidak mencolok dan menarik perhatian dia yang sedang anteng dengan hp-nya. Reza langsung menggenggam tangan kananku ketika aku meraihnya, kemudian menariknya keluar kampus. Orang itu masih tak bergeming. Thank God for that! Oh iya dan si Reza itu, kami tampaknya akan jalan-jalan lagi seperti hari-hari biasanya. Iya, siapa yang tahu jika dalam beberapa bulan kedepan, aku akan menangisi semua kenangan tentang hari-hari yang aku anggap biasa ini. Kebersamaan kami tidak pernah jadi genap tiga tahun.
II
“Tanggal berapa sekarang, Yang?” aku yang seringkali tidak tau tanggal bingung saat harus mengisi kolom date di lembar tugasku.
“Tanggal 24.” Jawab Reza sambil tetap fokus nonton tv, effortlessly, tanpa harus mengingat-ingat dulu.
Aku diam sejenak. Tanggal 24 September. “Aku males ah ngerjain tugas ini sekarang. Besok aja. Buat lusa ini” Aku menyandarkan kepalaku di dipan kasurku, lalu ikutan nonton tv. “Could I smoke?”
Reza yang tadinya asik nonton, melirikku dan memandangku dalam. “NO!!!”
Aku OKAY-kan saja daripada nanti aku dia ceramahin panjang lebar, lalu aku sandarkan kepalaku di bahunya.
Reza tau aku udah merokok lumayan lama, sejak SMA. Aku ngaku ama dia. Dia sangat tidak suka itu. Dia bilang, normalnya dia akan ilfeel terus niggalin ceweknya jika tau dia merokok, seperti yang dia lakukan pada pacarnya sebelum aku.
Tapi dia juga nggak tau kenapa dia nggak melakukannya padaku. Sekarang dia cuma bisa pasrah. Dia bilang aku cold-blooded dan keras kepala susah diajak baik. Hal terbaik yang bisa dia lakukan ya memohon padaku untuk tidak merokok di depan dia. Aku nurut saja, aku juga agak-agak mikir sih kasian juga si Reza kalau harus jadi perokok pasif ketika dekat-dekat denganku.
“Kamu kenapa?” Wajah menawannya berkerut.
Tanggal 24 September, 5 tahun lalu, ketika aku masih aku yang ‘baik’, teratur, rapuh, sering nangis, menye-menye, ketika aku sangat jatuh hati pada dia yang aku sering tangisi di hari-hari berikutnya, ketika hujan, hujan pertama di musim penghujan, ketika pada akhirnya dia memintaku untuk jadi pacarnya, ketika aku senang sekali dan malu-malu jawab iya, aku tiba-tiba ingat itu semua. Itu ‘kenapa’ aku.
“Gak apa-apa.”
Aku ‘fokus’ lagi nonton tv. Sesekali aku dengar Reza cekikikan liat acara tv yang kayanya memang lucu. Aku tak bergeming.
***
Salah satu hari yang paling menyebalkan untuk Andra adalah ketika hari-hari penentuan mau masuk SMP mana. Jika dilihat dari prestasi sih tentu nggak bakal sulit. Tinggal pilih SMP paling baguspun di kotanya sesuai tuntutan orang tua, pasti masuk.
Yang jadi masalah saat itu yaitu bahwa yang diam-diam ia inginkan adalah bukan masuk smp paling bagus di kota, tapi masuk smp yang sama dengan Gio. Masalahnya yang lain lagi, Gio udah pasti nggak bakal berani daftar ke SMP paling bagus di kota. Nilai Gio kan banyak merahnya. Bukannya Gio bodoh, dia masa bodoh. Pilihan Gio jatuh pada SMP 3 dan SMP 8. Dia nekad menanyakan itu langsung pada Gio.
Andra menunda untuk menentukan pilihan saat itu. Dia bilang pada gurunya kalau besok baru dia akan datang lagi untuk mengisi formulir pendaftaran SMP. Kemudian dia pulang ke rumah.
“Mah, Andra masuk SMP 3 aja boleh?”
Jawabannya udah bisa ditebak. Ceramah panjang lebar yang diakhiri dengan perintah tegas kalau Andra harus daftar ke SMP 1 saja. Dia memutuskan untuk merajuk pada papah kemudian. Andra pikir papah akan lebih demokratis dalam hal seperti itu dibanding mamah. Seperti saat dia minta izin untuk ikut acara camping ke gunung, mamah tentu tidak mengizinkan Andra untuk ikut karena khawatir. Andra punya penyakit asma yang cukup parah.
Jika kambuh, dia akan tampak seperti mau mati kehabisan nafas. Mamah khawatir jika harus ikut camping, asmanya akan kambuh karena dinginnya udara gunung di malam hari. Namun, akhirya Andra pergi juga setelah papah mengizinkan. Mamah tentu saja menurut sama papah. Menurut papah, camping baik buat Andra. Dan yes, dia senang bisa camping bareng Gio, bisa 24 jam deket-deketan dengan Gio. Namun tampaknya untuk kali itu, Andra menyerah untuk daftar ke SMP 1 saja setelah papah pun memerintahkan demikian. Pilihannya jatuh pada SMP 1 dan SMP 8.
Jika saja bisa, aku akan peringatkan Andra untuk sadar jika Gio sangat berpotensi untuk mengacaukan hidupnya. Aku ingat si Andra kecil yang penurut, teratur dan tidak neko-neko pernah diam-diam menangis berdoa pada Tuhan usai sembahyangnya agar ia dan Gio tidak lulus di pilihan pertama, agar bisa sama-sama masuk di pilhan ke-2, SMP 8, SMP yang kurang bagus, juga untuk anak-anak nakal. Salah satu bentuk pemberontakan kecil untuknya saat itu. Untungnya Tuhan tidak mengabulkan doanya. Dia dan Gio sama-sama masuk ke pilihan pertama mereka masing-masing.
Setelah itu, bisa dibayangkan kan, satu kelas saja mereka hampir tidak pernah berinteraksi, apalagi berbeda sekolah. Tapi jangan dikira, si Andra ini ternyata keras kepalanya sudah dari dulu. Cinta sederhananya untuk Gio masih terpelihara dengan baik.
***
First love never dies. – anonim
SMP 1 lumayan jauh dari rumah, sehingga untuk pergi ke sekolah, Andra harus menggunakan angkutan umum. Setiap pagi, dia menunggu angkutan umum yang kosong untuk dia tumpangi. Begitu setiap hari. Hingga beberapa bulan kemudian, ketika Andra berangkat agak siang karena sakit perut, ketika dia melambaikan tangannya untuk membuat angkot yang akan dia tumpangi berhenti, dia terpaku dan kaget. Jantungnya berdegup kencang, lututnya lemas. Dia melihat sosok yang diam-diam sering dia rindukan, Gio.
Gio tentu saja juga melihat Andra. Dia kan duduk di bangku depan dekat supir. Mereka berdua saling tatap sejenak hingga angkot berhenti. “Pak, gak jadi maaf, ada yang ketinggalan.” Andra berteriak pada supir kemudian kabur. Angkot yang ditumpangi Giopun berlalu.
Andra canggungnya minta ampun. Dia juga tertutup dan hampir tidak pernah menceritakan masalah pribadinya pada siapapun juga. Mamah dan papahpun tidak begitu mengenal dia. Teman terdekatnya pun tidak pernah mengenal dia lebih jauh dari sekedar hahah-hihih bersama, jajan bersama, bekerja kelompok bersama.
Namun, Andra anak yang lumayan expresif. Dia nangis kalau dia sedih, ceria kalau dia senang, walaupun expresi mukanya datar. Dia hanya tidak terlalu suka terlalu terikat secara emosional dengan orang lain. Sehingga, kala itu, ketika matanya bertatapan dengan Gio, ketika sisi emosional dia terikat oleh Gio, dia bingung, lalu memilih untuk melarikan diri.
Namun, ketika Andra melihat penampakan Gio di angkot, dia sadar sesuatu. Dia ingat jika untuk ke sekolah, Gio juga harus menaiki angkot yang sama dengan yang biasa dia naiki. Hanya saja, Gio terbiasa berangkat agak siang.
Nah, itulah pemberontakan kecil Andra dikarenakan Gio selanjutnya. Sejak saat itu, setiap pagi, dia pergi ke halte pagi-pagi seperti biasa, dia duduk di halte pura-pura sibuk dalam waktu yang cukup lama melewatkan cukup banyak angkot kosong yang menuju sekolahnya. Dia menunggu Gio lewat. Gio, that she only saw for less that a minute could simply make her whole day.
Sejak saat itu, bisa ditebak, Andra ikut-ikutan Gio sering kesiangan masuk sekolah. Bahkan udah bukan hal yang aneh jika dia di strap beberapa menit di gerbang oleh petugas piket sebelum masuk kelas. Adakah yang menyadari perubahan itu? Tidak ada. Pemberontakan kecilnya itu masih bisa tertutupi oleh prestasi dia di sekolah. Nilai rapotnya selalu bagus, sehingga sebatas itulah laporan yang orang tua terima.
Ritual halte itu berlangsung cukup lama, hingga awal kelas 3 smp. Bukannya dia bosan atau insaf. Dia terlalu keras kepala untuk itu. Masalahnya, selama apapun dia menunggu di halte, Gio tidak pernah terlihat lagi. Setelah 2 minggu dia tidak menemukan Gio, barulah dia menyerah. Dia tidak pernah di strap lagi karena kesiangan masuk sekolah ataupun melihat dan mendengar kabar tentang Gio lagi.
***
“You’re toxic I’m sleeping under with a taste of a poison paradise...” Nada teleponku berbunyi. Dari papah rupanya.
“Halo, Pah.”
“Kaka, sehat kan?”
“Sehat, Pah. Ada apa?”
“Syukur deh. Kalau adek gimana? Sehat? Ada keluhan lagi soal kuliahnya?”
“Nggak ada, Pah. Dia baik-baik aja. Kemarin sore dia ke kostan kaka malah. Dia mau pulang lusa ke rumah besok katanya, dia mau tinggal di rumah dulu sampai mulai kuliah nanti lagi, kostannya udah habis. Ada apa? Papah ama mamah sehat kan?”
“Disini sehat kok, Ka. Ya sudah, semoga lancar yah kuliah kaka ama adek.”
Segera dia tutup teleponnya setelah kami mengucapkan selamat tinggal. Aku lempar hp-ku ke kasur, aku kembali fokus nonton.
Papah orangnya memang perhatian dan lembut terhadap anak-anaknya. Dia juga bijak sekali. Aku dan adikku segan dan kagum pada papah. Dia bisa mengorbankan kepentingannya untuk mendahulukan kepentingan kami.
Pokoknya aku bisa dibuat nangis sesenggukan oleh film atau lagu yang bertemakan ayah cuma karena ingat papah. Dia sosok idola di rumah. Dia sosok model harapan keluarga bangsa Indonesia di dunia yang sudah sulit dipercaya ini. Reza aja iri padaku dan adikku karena aku punya sosok papah ideal impian dia.
“You’re toxic I’m...”
Lagi?
“Yang, tolong ambilinlah.” Kataku pada Reza untuk mengambilkan hp-ku yang kulempar tadi. Dari mamah rupanya.
“Halo. Ada apa, mah? Barusan papah telepon juga nanyain kabar.”
“Oh iya papah telepon juga? Nggak ada apa-apa, sayang. Mamah cuma pengen denger suara kamu aja. Tadi telepon adek nggak diangkat terus.”
Kami ngorol lumayan lama. Mungkin sekitar 30 menit. Ngobrolin adikku yang sedang bermasalah ama kuliahnya, ngomongin kebiasaan aku merokok dan resiko kanker yang mungkin akan aku idap kalau tidak berhenti segera. Dia minta kau berhenti setidaknya hingga dapat kepastian dari dokter dulu.
“Mamah khawatirin kaka ama adek.” Dia mulai menangis.
“Aku baik-baik aja, mah. Adek juga kemarin ke kostan, dia cerita soal rencana dia pindah kuliah. Kalau kata Alex sih mending pindahin aja, daripada dilanjut juga bakal kacau. Tapi kabarnya baik juga, mah. Besok dia pulang ke rumah”
“Mamah gak tau, Ka. Keluarga kita kenapa jadi kacau begini?!” Dia nangis tambah kencang, kemudian pamit.
Aku paling tidak bisa berkata-kata bagus untuk menenangkan orang yang sedang sedih. Aku juga sedikit bingung, aku pikir mamahku agak overreacted soal masalah kuliah adikku yang kacau. Aku pikir sih itu masalah yang masih bisa diperbaiki.
Lagipula dia cuma akan kehilangan 1 tahun kan, dia bisa mulai baru lagi kuliah di tempat baru. Aku pikir, jika dilihat, adikku cukup mengambil pelajaran dari kesalahan yang telah dia perbuat.
“Reza, udah malem. Aku mau istirahat.”
Reza mengerutkan dahinya. “Mana mungkin baru jam 9 kamu udah ngantuk? Biasanya aja begadang. Kamu lagi mikirin apa, Lex?”
“Nggak ada apa-apa. Aku cuma capek aja hari ini, entah kenapa.”
“Oke.” Dia segera membereskan barang miliknya untuk segera pulang
“Lex... Aku sayang banget ama kamu. Entahlah, gak pernah sedalam ini sayang ama cewek. Dan aku serius ama kamu, Lex. Kamu selalu ada dalam perencanaan masa depan aku.”
Aku tersentuh. Heran, kok bisa ada orang yang bisa sesayang Reza sama cewek kaya aku. Aku tersenyum padanya. Senyum tulusku untuk orang yang sangat menyayangiku ini. “Makasih yah, Yang. Eh, kamu pake mobil kan yah?” Tanyaku sadar jika dia kadang pake motor, diluar hujan sedang deras, hujan pertama di bulan tahun ini.
“Iya. Selamat istirahat yah.” Sebelum ku antar ke gerbang, dia memelukku erat, aku membalasnya. Tak lama kemudian, diapun berlalu.
***
Udah hampir jam 12 malem. Kayanya aku bakal susah tidur malem ini, pasalnya barusan aku nyeduh kopi. Malem-malem dan hujan begini, enaknya ya memang begini. Reza udah sms sejak tadi kalau dia sudah sampai kostannya, dan sekarang dia sudah tidur.
Aku mengambil novel yang sebelumnya telah 80%an selesai aku baca. Aku berniat menyelesaikannya malam ini. Sebenarnya aku tidak terlalu terbiasa membaca novel bergenre drama. Aku lebih suka genre science fiction atau biografi tokoh inpirational.
Tapi karena dari sekian banyak novelku, yang belum aku baca yah yang bergenre drama ini, dan aku lumayan suka membaca, jadi ya aku baca juga. Bukannya aku tidak suka genre drama, tapi yang terekam kuat dalam ingatanku, pernah aku membaca novel teenlit dulu saat sma yang berjudul “dealova”.
Aku benci ceritanya. Sad ending untuk si tokoh yang aku sangat suka, yang mengingatkan aku padanya, yang ceritanya kurang lebih sama denganku. Novel itu, disaat kenangan tentangnya tidak lagi membuatku menangis, mengikat aku ke dalam cerita yang membuatku merasa kembali mengalami kisah kami dulu. Aku menangis lagi 3 hari tiada henti. Sejak itu, aku jadi sering ciut duluan untuk baca novel semodel itu.
Si novel “Taj Mahal” ini ya seru juga. Ah, cinta itu bodoh. Jahanara malah jatuh cinta pada pemuda biasa dan menghianati suaminya yang merupakan raja yang sangat mencintainya. Si raja sangat mencintai istrinya yang berhianat. Keseringan baca novel-novel tentang prahara percintaan seperti ini, aku jadi takut dan pesimis.
Aku kira cinta indah yang berjalan seimbang dari kedua belah pihak itu tidak ada. Sering aku berpikir seperti itu, sampai aku melihat ayah dan ibuku. Mereka selalu menjadi penyejuk saat aku goyah tidak percaya pada kehidupan.
***
“Aku smp 3, Ndra”
Andra diam sejenak kemudian tersenyum manis pada teman barunya itu. “Oke, besok aku mau deh ke toko buku bareng kamu.”
Begitulah kurang lebih perkenalan Andra dengan Rendi. Sejak perkenalan itu, Andra semakin dekat dengan teman barunya tersebut, Rendi, yang akhirnya menjadi pacar pertama Andra.
“Di smp 3 ada yang namanya Gio kan, Ren?”
“Gio Ghaisan?”
Andra mengangguk.
“Ada. Pacarnya si Vian. Ketua osis smp 3. Ah, dia sih tukang buat onar. Gak cocoklah buat Vian. Guru-guru aja ikut-ikutan bilang gak setuju. Hahah...”
“Oooh... Dia buat onar gimana?”
“Kemarin terakhir dia ditegur pas upacara karena bawa mobil ke sekolah. Terus sering banget di skor karena berantem. Kacaulah pokoknya dia.”
“Dia ke sekolah bawa mobil?”
“Iya, udah agak lama.”
“Harusnya gurunya jadiin dia ketua kelas.” Jawab Andra datar sambil agak melamun. Baru Andra sadar sekarang kenapa sudah beberapa bulan dia tidak melihat Gio lagi. Orang tua macam apa yang ngasih anaknya yang masih kelas 3 smp mobil.
2 minggu kemudian setelah mereka resmi jadian, setelah Rendi sering protes karena merasa terganggu oleh topik “Gio” yang selalu dibawa Andra, Andra putusin Rendi, sumber informasi tentang Gio satu-satunya yang bisa diakses Andra. Setelah itu, Andra benar-benar tidak pernah mendengar tentang ataupun bertemu lagi dengan Gio, hingga Andra kelas 2 SMA.
***
“Itu kan Viona.” Pikir Andra dalam hati ketika dia melihat salah satu siswa baru di SMAnya, SMA 1. Viona, gadis manis yang sewaktu sd dulu tidak pernah absen memberi bekal waktu jam istirahat pada Gio. Adik dari Gio. Andra tersenyum tanpa sadar.
Beberapa bulan setelah itu, dengan nada yang diatur, Andra nekad nyapa Viona, “Kamu adik Gio kan?”
“Iya, Ka. Ka Andra yah? Ih iya kan. Dari kemarin-kemarin mau nyapa ragu.” Sambut Viona antusias.
Andra heran dengan jawaban Viona. Dia kira Viona tidak kenal dia. “Gio apa kabar? Dia dimana sekarang?”
“Ah, A Gio mah ya kaya gitulah. Gak pernah berubah. Sering bikin masalah. Sekarang dia sekolah di SMA 3, Ka.”
“Oh, oke, salam buat Gio yah.” Andra sedikit panik ketika dia tanpa sadar kirim salam untuk Gio. Padahal Viona sepertinya menanggapi hal tersebut lumrah saja seperti basa-basi yang disampaikan seseorang untuk teman lamanya.
Viona tersenyum, tambah manis, senyumnya mirip Gio, “Ka Andra mau no hp A Gio?”
“Hah?” Andra tambah panik. “Nggak usah, Vio.” Jawabnya refleks.
“Yaudah, kalau gitu Vio minta no hp ka Andra boleh yah.”
Andra sedikit bingung kemudian memberi no hpnya pada Viona sebelum mereka kembali ke kelas masing-masing.
Sisa kelas Andra saat itu, sebagian besar dia habiskan dengan melamun. Dia senang bertemu Viona. Dia senang akhirnya tau kalau Gio sekolah di SMA 3. Ingin sekali Andra melihat Gio. But she thought, it was a little too much for that day.
***
Hujan belum berhenti dan masih deras. Novel Taj Mahal ini sudah selesai aku baca tapi aku belum ngantuk saja. Ku ambil hp-ku, aku iseng bukain facebook. Cukup lama aku scroll bola-balik ngecek home screen fbku berharap akan ada status dari temanku yang belum ku baca, hingga tiba-tiba aku menemukan sesuatu. Perutku agak mulas karena gugup.
Iya, ada dia, Si X, orang yang duduk di sebelah Reza di lobby kampus tadi di komentar status mutual friend kami. Dengan ragu-ragu ku buka fb-nya. Ah, tapi dikunci sehingga aku tidak bisa melihat banyak informasi melalui fb-nya mengingat kami belum berteman di fb. Ku lempar hp-ku, aku bosan, kemudian ku nyalakan tv dan kuminum kopiku, hingga beberapa saat kemudian, ku dengar hp-ku berbunyi 2x. Dari bunyinya sih, itu nada notifikasi fb. Ku ambil hpku dengan malas, kemudian ku cek. Ada request pertemanan dan pesan. Ku putuskan untuk membuka pesan terlebih dahulu.
“Hai”
Ku perhatikan dan ku resapi dalam-dalam, pesan dari seseorang yang aku kenal, kemudian kepalaku berputar. Aku pusing. It’s too much for today.
***
Malam itu Andra sudah mulai move on dari kejadian Viona tadi. Dia duduk manis di meja belajarnya, fokus mengerjakan tugasnya. Tiba-tiba hpnya berbunyi tanda ada sms.
“Andra.” Isi sms dari nomor tidak dikenal.
Andra tediam sejenak. Hatinya berdegup kencang karena dia tiba-tiba ingat memberi no hpnya ke Viona, adik Gio. Dia bingung harus bagaimana. Dia memutuskan untuk tidak membalasnya dahulu.
“Andra Andra Andra Andra balas dong :D.” Si nomor tidak dikenal itu kirim sms lagi. Andra masih memutuskan untuk tidak balas dulu. Dia bingung. “Andraaaaaaa... God, I love that name.” Andra masih terdiam.
Sejam setelah itu baru dia balas “Iya. Ini siapa yah?”
Andra gugup menunggu, namun balasan tak kunjung datang. Andra jadi sebal. Dia tanpa terkontrol kirim sms lagi, “Dasar orang aneh.” Dan tetap tak dapat balasan lagi juga. Andra sedikit kecewa, dia memutuskan untuk melupakan masalah sms itu dan lanjut mengerjakan tugasnya. Hingga hapenya berbunyi tanda ada telepon masuk. Andra dengan antusias mengambil hapenya, namun bingung harus bagaimana ketika dia liat yang telepon adalah nomor tak dikenal yang tadi sms. Akhirnya dia mengangkat telepon itu.
“Halo. Ini dengan siapa?”
“Kesel gak nunggu balasan sms? Hahah...”
“Kamu siapa ih?!”
“Nama aku rahasia.”
Andra langsung tutup telepon itu karena kesal. Namun telepon itu kembali berbunyi. Andra tidak bisa tidak mengangkat itu. Karena dalam keselnya juga dia penasaran sekali.
“KAMU SIAPA IH!?!” Bentak Andra.
“Kenapa ditutup sih?! Kamu sombongnya gak ilang dari dulu” Nadanya ketus.
“Kamu bikin kesel soalnya. Ditanya nama gak jawab.” Andra merajuk.
“Tadi kan udah dijawab, nama aku rahasia. Terus kamu kenapa sombong dari dulu?”
“Aku tutup lagi nih!”
“Ya ampun, aku salah apa lagi?”
“1... 2... 3...!” Andra menggeretak.
“Gio, Ndra, Gio. Hahah...”
“Gio Ghaisan Erlangga?” Tanya Andra gugup dan terbata-bata.
“Gio Rahasia Erlangga, Andra. Sejak kapan nama tengah aku ganti jadi Ghaisan?”
Andra kaku. Terakhir dia berinteraksi dengan Gio adalah ketika perpisahan SD mereka, 5 tahun lalu. Itu juga cuma bilang good luck aja. Sekarang tiba-tiba dia muncul dan mereka sudah ngobrol lebih panjang dari obrolan mereka yang manapun juga bahkan dari ketika mereka satu kelas pas SD dulu. Andra tidak tahan. Too emotional.
“Kok diem? Terus kamu kenapa sombong dari dulu? Terus kamu kenapa sombong dari dulu? Terus kenapa kamu sombong dari dulu? ...”
“Sombong apa sih?” Andra sebel terganggu dengan pertanyaan dia yang offensif dan diulang-ulang.
“Kamu, dulu setiap pagi ketemu di pangkalan angkot malah pura-pura gak liat.”
“Hmm... Kenapa aku yang sombong? Kenapa bukan kamu yang sombong yang udah jelas-jelas liat tapi gak nyapa?”
“Trauma nih. Kamu sejak sd, kalau disapa pasti kabur. Jadi yang sombong kamu dari dulu.” Nadanya santai tapi mengejek.
“Terus sekarang kenapa coba tiba-tiba telepon?”
“Tadi Viona cerita. Dia bilang kalau kamu ngasih nomor hape kamu buat aku hubungin. Huh! Udah aku hubungin, masih aja sombong.”
Andra panik mendengar itu. “Enggak ih. Aku ngasih nomor buat Vio, bukan buat kamu. Ah... Apa-apaan sih kamu keGRan.”
Gio terbahak menyadari Andra panik. Mereka ngobrol berjam-jam sampai Andra pamit karena sudah disuruh tidur oleh mamahnya. Sebelum mereka menutup telepon, mereka sepakat untuk bertemu di hari sabtu sepulang sekolah.
***
Kenangan yang paling diingat Andra tentang Gio adalah saat Gio meneleponnya untuk pertama kali, saat mereka bertemu untuk yang pertama kalinya, saat mereka jadian, saat mereka berpisah. Selebihnya, it was a total blur.
Sejak pertemuan pertama mereka, Gio makin intens menghubungi Andra. Dia hampir tiap hari telepon Andra, dan tiap sabtu ajak Andra jalan. Sekitar sebulan mereka jalan, Gio nekad tembak Andra. Dia bilang, Andra itu cinta pertama dia dan dia sudah suka Andra sejak dia SD. Lalu mereka jadian.
Entah, semakin intens mereka berhubungan, semakin terbuka mereka akan karakter masing-masing. Cocok kah mereka? Sudah jelas tidak. Mereka yang hidup dan tumbuh di lingkungan keluarga yang berbeda memiliki karakter yang jauh berbeda pula.
Andra dibesarkan di keluarga yang harmonis dan penuh kasih sayang, sementara Gio yang baru Andra ketahui sejak mereka jadian, dibesarkan lingkungan keluarga yang benar-benar tidak terbayangkan oleh Andra sebelumnya.
Rumor mengenai mamah Gio yang ada 4 ternyata benar, namun dari ke-empat mamahnya tersebut tidak ada satupun yang tinggal bersamanya di rumah yang sangat besar. Rumah yang terlalu besar untuk ditinggali oleh hanya Gio, Viona, dua orang pembantu dan satu orang supir. Gio memiliki beberapa saudara lainnya selain Viona, namun hanya Viona yang satu ibu dengannya.
Kemudian yang Andra tau tentang keluarganya yang kacau itu adalah bapaknya tinggal di malaysia, ibu mereka entah tinggal dimana. Sedikit cerita tentang keluarga Gio itu, Andra dapat dari Viona. Viona bercerita ketika Andra main ke rumah Gio dan bertanya-tanya dimana orang tua mereka ketika dia tidak menemukannya.
Gio tidak pernah cerita masalah keluarganya. Yang didapat Andra soal itu dari Gio hanya pelampiasan amarah Gio saja tanpa ada sedikitpun penjelasan mengenai masalah apa yang dia hadapi.
Ada satu hal janggal juga dalam hubungan mereka. Andra menyembunyikan hubungannya dengan Gio dari semua orang. Alasannya bisa ditebak. Image. Image Gio yang dikenal nakal, tukang buat onar, ketua geng motor, keadaan keluarganya yang kacau balau, membuat Andra khawatir jika ada yang tau, habislah juga dia. Jadi, dia memutuskan untuk tidak memberitahu sahabatnya sekalipun.
Entah Andra bahagia atau tidak menjadi pacar Gio. Dia nangis terus. Bagaimana tidak, Andra yang pada dasarnya sensitif dan mudah menangis harus intens berhadapan dengan Gio yang karakternya keras dan ketus tapi tidak pernah mau berbagi masalahnya. Pernah suatu hari, ketika Gio jalan bareng Andra, dari sejak ketemu, Andra sudah menyadari kalau Gio sedang bad mood, Andra dibentak Gio,
“Ayo buruan jalannya! Udah mau ujan! LELET!!!” Walaupun pernah beberapa kali kena bentak juga, Andra tetap kaget. Dia menangis. Belum lagi, Gio banting pintu mobilnya keras sekali. “AN***G!!!” Teriaknya sambil mukul setir mobilnya. Andra nangis lagi di mobil Gio, tapi ditahan tidak bersuara. Keesokan harinya, Andra dengar kabar bahwa Viona sudah sejak seminggu sebelumnya pindah sekolah. Keterlaluan.
***
“Andra.” Ada pesan lagi menyusul dari akun fb yang sama, milik Gio Ghaisan Erlangga. Tanganku gemetar saat membacanya. Aku benci sekali dipanggil Andra. “Tolong di approve yah request pertemanan dari aku.” Dia kirim pesan lagi. Sudah lima tahun aku tidak mendengar kabarnya sama sekali. Sekarang tiba-tiba dia muncul lagi setelah kehidupan aku sudah jauh lebih baik tanpa dia.
Pernah dengar jika seberubah apapun kita, mungkin ada orang yang bisa membawa sisi emosional kita kembali seperti saat kita dulu mengalami si emosi itu bersama dia? Iya, saat itu, aku menangis lagi, sesenggukan. Jika tidak sedang hujan deras, tetangga kostku pasti mendengar tangisan aku.
Aku masih ingat dengan jelas hari itu, hari terakhir aku melihat wajahnya. Aku masih ingat wajahnya saat itu.
“Aku mau ketemu kamu hari ini juga.” Bentakku sangat kesal.
“Aku lagi gak enak badan, Andra. Bisa kacau kalau kita ketemu sekarang.” Jelas Gio lemah.
“Aku ke rumah kamu sekarang. Aku gak mau tau.”
Aku nekad pergi ke rumah Gio sepulang sekolah.
“Udah aku bilang, aku gak bisa ketemu kamu sekarang.” Bentaknya ketika aku nekad nerobos masuk ke kamarnya.
“Kamu tuh apa-apaan sih Gio?! Kenapa kamu gak bilang kalau Vio pindah! Jadi ini yah alesan kamu marah-marah terus kemarin?”
“Sekarang kamu tau kan?! Terus apa lagi masalahnya?!”
Aku geleng-geleng kepala kecewa. “Aku mau putus, Gi!” Aku yang sebenernya sudah kesal dari kemarin gara-gara jadi pelampiasan amarahnya beringsut menjauh darinya.
Gio segera mengejarku dan menarik tanganku. Dia memelukku. “Nggak, Andra. Please jangan tinggalin aku. Aku tau aku kacau banget, but you’re all I’ve got. Please!”
Aku yang menangis melepaskan pelukan Gio, ku tatap matanya yang memerah “Kamu mikir dong, Gio!!! Kita tuh mungkin emang gak cocok sama sekali.” Gio menangis. Baru kali itu aku liat dia menangis. “Kamu anggap aku apa, Gio? Ampe adik kamu pindah sekolahpun, aku tau dari orang lain. Kamu cerita apa soal itu sama aku? Yang aku dapet cuma umpatan kasar doang kemarin. Aku ampe down seharian gara-gara aku kira kamu ngatain aku anj**g, ngerti gak?”
“Kamu bareng ama aku udah berapa lama sih, Ndra? Kamu taulah, amarah aku tuh nggak pernah ada satupun yang ditujukan buat kamu.”
“Kamu ngarep aku tau darimana dong Gio? Kamu gak pernah cerita apa-apa. Kamu gak nyaman ama aku? Mungkin kita emang gak cocok.” Aku menangis.
Gio terdiam agak lama seperti memikirkan sesuatu, “Iya, kita gak cocok Andra. Kamu boleh pulang sekarang. Aku capek banget, kita bisa bicarain ini lain kali.” Jawab Gio lesu tapi tegas.
Aku yang kesal sekali beranjak pergi. Seraya pintu rumah Gio ditutup, Aku terduduk dan menangis di depan pintu. “Kita gak cocok, Gio, tapi aku sayang banget ama kamu.” Kemudian bangkit dan pergi meniggalkan rumah Gio.
Hari berikutnya, nomor hape Gio sudah tidak bisa dihubungi lagi. Pernah aku nekad mencari Gio lagi ke rumahnya beberapa hari kemudian, tapi kata pembantunya, Gio pindah ke rumah bapaknya di Malaysia. Aku makin kacau.
***
“Krik”. Hp-ku berbunyi kembali. “Aku lagi di bandung, Andra. I really want to meet you. Tomorrow is all I’ve got. Jika kamu baca ini, tolong approve request dari aku yah."
Dia lagi di bandung. Dengan ragu-ragu ku approve request pertemanan darinya.
“Syukurlah, Andra.” Dia kirim pesan via messenger sekarang.
“Hai, apa kabar?” Hanya pertanyaan basa-basi itu yang bisa aku kirimkan.
“Baik. Andra, would you like to meet me tomorrow, please?”
Dia gampang banget bilang kaya gitu. Dia pasti tidak tahu bagaimana perjuangan aku untuk bisa move on pasca ditinggalkan olehnya hanya dengan kata, “iya, aku capek, kita bicarain lain kali.” Dia tidak tau pasti jika saat itu, selama beberapa bulan, aku sakit, malas makan, menangis terus, murung mengurung diri di kamar. Dan lagi, bukan hanya pribadi aku saja yang rusak, tapi hubungan sosial aku dengan orang lainpun ikut-ikutan berantakan.
Orang tua aku kebingungan, sahabat aku kebingungan, teman sekelas aku kebingungan, wali kelas aku ikutan pusing mengurusi nilai-nilai rapot aku yang terjun bebas secara dramatis dan tingkah aku yang makin lama makin menjengkelkan. But, I swear, I thank God for that, Gio. That day, the day you left me hanging, I realized how much love could do me wrong and I promised myself that I would never be engaged to that kind of love again, that I would never cry for something really stupid as love ever again. Bukannya aku jadi anti berhubungan dengan pria.
Pasca putus dengannya, saat aku bosan meratap, sebelum aku dengan Reza, aku sering gonta-ganti pacar, but it was likely less emotion attached. Seperti dengan Reza yang tidak berpotensi untuk membuat aku sedih. Jika, si insiden Dealova itu tidak dihitung, seingatku, tidak pernah lagi aku menangis gara-gara sakit hati. Tapi hari ini, hanya dengan satu kata “Andra” saja darinya, aku nangis lagi. Just die!!!
“Kriik.” Segera Andra buka pesan fbnya. “Andra, pokoknya besok aku tunggu kamu di Selasih, dari buka ampe tutup. Ada hal yang belum terselesaikan dengan kamu, and tomorrow is all I’ve got. Lusa aku udah mesti di Malaysia. Terserah kamu mau datang atau nggak. Pokoknya aku stand by disana.”
Aku bingung. Aku bingung pada diriku sendiri. Aku kesal tapi juga bersemangat. Aku memutuskan untuk log out dari facebook. Aku harus tidur. Tapi sekuat apapun aku coba untuk tidur, aku tidak bisa. Aku log in kembali, segera ku balas, “Oke, liat besok.” Baru aku tidur.
***
Aku dibangunkan sinar matahari yang menerobos ventilasi kamar ku. Kulirik jam dindingku, pukul 10, aku kesiangan. Aku tampaknya terlalu nyenyak untuk terbangun gara-gara alarm. Semalam aku tidur jam 3. Aku bergegas mandi, aku ingat kalau hari ini ku harus ke suatu tempat menemui seseorang.
Selesai mandi, aku terduduk sejenak. Aku bingung. Gio mungkin sudah sejak jam 9 tadi menuggu.
“You’re toxic I’m...” Dari Reza.
“Halo.”
“Lex, kamu gak ada kuliah kan hari ini?”
“Iya. Ada apa?
“Mamah papah aku hari ini pulang ke rumah. Dia mau ketemu dan kenal kamu. Dia pengen ngobrol.”
Jantungku berdebar. It scares me a lot. Terlebih sekarang. Bagaimana bisa aku menemui orang tuanya yang sudah bisa aku tebak arah tujuannya disaat aku berencana menemui pria lain. Sejauh ini, selama hampir 3 tahun bersama Reza, aku belum pernah sekalipun menghianatinya. Aku kira gampang saja bagiku untuk setia padanya, sampai dia datang lagi. Sekarang, aku jadi tidak percaya pada diriku.
“Sorry, Za. Aku gak bisa.”
“Loh. Kenapa? Lex, mamah aku antusias banget untuk ketemu kamu.”
“Aku gak bisa, Ja. Sorry.”
Langsung ku putus telepon darinya. Aku segera berangkat pergi, memutuskan untuk menemui Gio. Aku benci sekali dengan diriku saat ini. Aku bersemangat. Diam-diam aku senang untuk menemui Gio yang meninggalkan aku tanpa penjelasan apa-apa dulu, aku dengan dinginnya mencampakan Reza yang sayang sekali denganku. Aku bodoh lagi. Reza beberapa kali menelepon, namun tidak ku angkat. Kemudian hpku tidak berdering lagi. Dia pasrah lagi.
***
Have you ever got a problem that you though you could not bear? Saya kira setiap orang pernah mengalami masalah semacam itu. And mine is today. Di angkot, teleponku berdering lagi. Aku udah mengumpat diam-diam karena aku kira itu telepon dari Reza, tapi ternyata itu dari adikku, Leo. Tumben telepon, pikirku, kemudian ku angkat.
“Lex, kuat yah Lex.” Nada suaranya bergetar.
“Ada apa, Le?” Aku sedikit panik.
“Mamah ama papah mau cerai.”
Awalnya aku meyakinkan diriku bahwa dia cuma becanda. Namun adikku bukan tipe seperti itu. Lalu kepalaku pusing, mataku berair.
“Papah udah gak tinggal di rumah, Lex. Perpisahan mereka udah diurusin sejak bulan lalu.”
Waktu terasa terhenti, 10 menit itu, sebelum angkotku mencapai tempat Gio menungguku, there is only one thing in my mind. I don’t want to get hurt.
“Kiri, bang.” Kemudian aku ganti angkot menuju kostan Reza.
***
Reza memelukku. “Makasih yah, Lex.” Aku mulai menangis.
“Kamu kenapa? Ada masalah?” Wajahnya terlihat panik. Aku hanya menggeleng.
“Baru kali ini aku liat kamu nangis, Lex. You must have a real big problem now.”
Reza memaksaku untuk bercerita. Tapi dia kenal aku banget, dia menyerah setelah aku tolak berkali-kali. Aku entah kenapa memang tidak suka menceritakan masalahku kepadanya. Dia bahkan tidak tau beberapa bulan ini aku rutin cek up ke dokter. “Oke, satu hal Lex. No matter how hard the problem you face. I’ll be beside you. Dan aku harap aku bakal ada di samping kamu selamanya.”
It should comfort me as always. Tapi entahlah, untuk kali ini, tidak sama sekali. It makes me realize. I don’t want to hurt him either. “We’re done, Za. I’m sorry. I don’t love you. Never.” Kemudian aku pergi meninggalkan rumah Reza.
***
Ku lihat lagi dia yang masih duduk di bangku yang sama dengan ketika ku lihat dia beberapa jam yang lalu. Sekarang sudah ada piring bekas dia makan rupanya. Aku perlahan menghampirinya sambil berharap dia tidak menyadari kekacauanku dari mukaku yang masih sembap. Jantungku susah kompromi.
Dia berdiri saat melihatku.
“Aku kira kamu tidak akan datang.”
Aku sudah tiba disini beberapa jam yang lalu sebenarnya, tapi aku sembunyi-sembunyi langsung menuju kamar mandi to take a real deep breath for a minute, ketika tiba-tiba teleponku berbunyi. Nomor telepon tempat praktek Dokterku. Aku ingat jika hari ini, hasil tesku sudah keluar. Aku takut. Aku tidak siap dengan berita apa yang mungkin aku dapat.
I did not think I could deal with any kinds of bad news anymore. Telepon itu tidak ku angkat. Aku fokuskan dulu pikiranku ke Gio. Yang herannya, setelah semua hal buruk yang terjadi padaku, diam-diam ada perasaan senang. Semua kenangan tentang Gio, yang kemarinpun masih melukaiku dan ingin sekali ku lupakan, sekarang berubah jadi menyenangkan.
“Maaf lama.” Aku duduk setelah dia persilahkan.
“Maaf yah, di dalam penuh.”
“Iya, udah mau ujan nih kayanya yah. Mungkin kita gak bisa lama-lama.”
Kita ngobrolin cukup banyak hal. Mengenai kuliahnya yang sudah selesai, dimana dia tinggal sekarang, dan lain-lain. Namun ada dua hal yang paling akan aku ingat.
“You haunt me, Andra. It’s like there is something undone yet between us.”
“Apa?”
“Dulu aku dropped out, Ndra, dari sekolah. Terus papah aku buru-buru minta aku pindah ke Malaysia. Waktu itu aku bingung. Viona udah pindah kesana duluan. Aku sendirian di rumahku saat itu. Dan kamu sudah gak mau ama aku lagi. Jadi aku mutusin buat berangkat.”
Mataku mau berair lagi, tapi ku tahan mati-matian, hingga suaraku sedikit goyang. “Kamu kenapa nggak ceritain masalah kamu waktu itu?”
“Viona pindah karena hamil, Ndra. Aku dropped out karena berantem dengan guruku yang ikut campur mengata-ngatai keadaan keluarga aku. Kamu ngarep aku cerita apa? Yang aku tau aja saat itu kamu malu pacaran sama berandalan dengan keluarga yang kacau balau kaya aku. Kalau aku cerita masalah itu, aku takut kamu benci aku, Ndra.
Kamu taulah, aku minder mengenai masalah itu ama kamu sejak SD” Dia tersenyum tapi kecut. “Kita beda banget, Andra. Aku mau tidak mau harus setuju dengan pernyataan kamu bahwa kita nggak cocok.”
Itu yang pertama, aku masih bisa menahan air mataku. Yang kedua.
“Aku mau nikah seminggu lagi, di Malaysia.”
Jika dulu aku sering nangis di depan dia mungkin agar dia mengerti bahwa aku kesal dan sedih, “Oh, ini berita baik.” sekarang, aku sangat berterima kasih pada hujan yang mulai turun karena menyembunyikan air mataku. “Selamat, Gio. Aku ikut senang.” Senyumku dipaksakan. Gio ngajak aku neduh, tapi aku tolak. “Aku suka banget ama ujan, Gio, aku pengen ujan-ujanan” Oh, I’ve never been in love with the rain like today. Wajahnya berkerut keheranan.
“One word from you, I could cancel my wedding.”
“Dia baik, Gio?”
“She’s the best I could have after you left, Ndra. Namanya Vian.”
“Oke, we’re done then .”
III
Sudah beberapa bulan aku mengurung diri di kamar. I dropped this semester. Berat badan aku juga tampaknya turun beberapa kilo, kucel, bau badan, aku meratap. Mamah papahku sering sekali telepon, tapi aku reject terus-terusan, aku cuma kirim sms, “I’m oke”, Reza juga telepon terus, aku reject juga hingga dia sms, “I knew you never loved me.
I’m glad that you were finally brave enough to say it. I’d move on.”, no kantor dokterku juga sempat telepon lagi, tapi aku abaikan. Namun hari ini, aku mulai bosan di kamar terus totally doing nothing. Aku liat diriku di cermin, well, aku kurus, it makes me happy a little. I smiles for the first time since that day. Oke, I think I should end it.
Ku ambil hape ku. Yang pertama ku lakukan adalah menelepon mamahku. Sudah bisa aku prediksi, dia histeris dan menangis. Aku tidak. Sudah bosan. Tapi dia baik-baik saja. Dia cuma khawatirin aku dan adikku. Tidak ku sangka dia cukup dewasa menghadapi permasalahan ini. “Papah dan mamah layak bahagia kan, Lex? Maaf kalau kami egois.” Aku dengar mamahku juga sudah mulai dekat dengan pria lain. Aku sedikit lega.
Yang kedua ku lakukan adalah menelepon papahku. Dia tetap tenang seperti biasa. Yang aneh adalah sekarang papah sedikit bercerita panjang lebar mengenai kenapa sampai mereka berpisah. Papah sekarang sudah menikah lagi dengan tante Ambar, yang sebenarnya sudah sering aku dengar namanya. Mamahku yang sering cerita soal tante Ambar.
Dia cinta pertama papah. Hubungan mereka yang sudah 7 tahun dulu kandas terbentur restu orang tua. Aku diam-diam kagum ama kisah cinta mereka. Papah kemudian minta maaf soal keegoisan mereka sama seperti mamah. Dia juga berjanji tidak akan lepas tanggung jawab atas aku dan Leo. “Gak apa-apa, Pah. Papah layak bahagia.”
Aku iseng-iseng buka diariku. Ku temukan beberapa lembar yang menarik perhatianku, tentang Gio. Yang terakhir ku tulis tentangnya adalah tanggal 12 September 2013, iya saat aku memutuskan untuk menemuinya lagi. Di lembar itu tertulis “KITA BISA BICARAIN HUBUNGAN KITA KALI INI, GIO.” Segera ku ambil bolpoinku, di sebelah tulisan dengan hurup-hurup kapital itu, aku tulis “20 Maret 2013” dan “We’re done.” Kemudian aku mandi. Aku mau jalan-jalan ke kampus. Cuaca di bulan Maret ini cerah sekali.
***
Hope is giant. Dan salah satu hal paling sulit di dunia ini adalah ketika kamu harus memilih antara mempertahankan harapanmu yang digantung atau mencari kepastian.
Seperti sekarang, sebelum berangkat ke kampus, aku bergetar akhirnya memutuskan untuk menelepon Dokterku. Aku menguatkan diriku menghadapi jantungku yang berdegup kencang.
Uhm...How life makes you choose. Seperti orang tuaku yang memilih berpisah setelah sekian lama hidup dengan tidak bahagia mungkin, seperti Gio yang memilih untuk menemuiku untuk bicara setelah sekian lama dia merasa dihantui, seperti Leo yang berani mengundurkan diri dari jurusannya, seperti Reza yang akhirnya sadar bahwa aku tidak mencintainya.
“Negatif. Bukan kanker. Bisa disembuhkan pakai obat saja. Tapi nanti tetap harus cek up rutin.” Kalian tidak akan tau betapa bersyukurnya aku atas itu. Makasih Tuhan, aku janji untuk berhenti merokok.
Yeah, choosing between two of them are sure hard, but what you don’t realize is that you could try to move on when your hope start to fade away. Seperti Gio yang akhirnya menikah, orang tuaku yang sekarang mungkin lebih bahagia, adikku yang bisa memulai kembali di jurusan yang lebih disukainya, seperti reza. Sure, it won’t be easy at first, but they moved on. Seperti aku. Aku ke kampus dengan riang. Serasa ada beban yang hilang dari pundakku.
Deg. Sesuatu mengusik lamunku. Jantungku berdegup kencang. Aku yang tebiasa kabur refleks mau berbalik. Tapi kuurungkan. Ku atur nafas panjang, aku mengatur degup jantungku, aku melangkah maju. Dan dia melihatku, right in the eyes, waktu serasa berhenti beberapa saat. And I swear to god, I see him smile, at me. It feels nice. Aku tersenyum juga diam-diam saat yakin dia tidak melihat.
Iya, di detik dimana aku memutuskan untuk melangkah maju, bukannya berbalik, aku menyadari satu hal. Dulu aku kira trauma patah hati yang membuatku takut jatuh cinta lagi. Ternyata bukan, harapanku pada Gio yang terpelihara yang membuatku tidak mau mencoba cinta yang lain. Aku kubur paksa cinta yang belum mati, yang ketika ada hal yang menggalinya kembali, seperti si Dealova itu, seperti nama Andra itu, cinta itu masih ada. And, I think now I could deal with Andra as the part of my life tanpa merasa terlalu terusik, cintaku padanya telah mati.
“ALEXANDRA!”
Duh. Aku berhenti lalu berbalik.
“Hmm... Kamu Alexandra kan?”
Aku mengangguk perlahan, berharap dia tidak melihat tanganku yang gemetar.
“Hmm... Would you like to have a cup of coffee with me sometimes?”
Aku tersenyum. Oke, Love, I dare you to do it to me once again!